marqaannews.net – Dua puluh delapan tahun setelah kudeta besar pada 5 Juli 1997, Perdana Menteri Kamboja Hun Sen kembali menarik perhatian lewat responsnya terhadap ketegangan di perbatasan dengan Thailand. Dengan cermat, ia memunculkan kembali narasi sejarah yang menguatkan posisinya, sembari mengandalkan loyalitas lama dari para mantan prajurit Khmer Merah.
Ketegangan di sekitar wilayah Chong Bok dan kuil Preah Vihear memperlihatkan keterlibatan para tentara veteran. Banyak dari mereka pernah bergabung dengan Khmer Merah dan sekarang berdiri di garis depan sebagai bagian dari strategi nasionalis yang telah dikampanyekan oleh media pro-pemerintah.
Tentara Veteran Jadi Simbol Patriotik
Dalam video viral yang dirilis oleh Fresh News pada 4 Juli 2025, seorang tentara berusia 72 tahun mengangkat peluncur granat ke arah pasukan Thailand. Media sosial Kamboja menyebarkan video itu secara masif. Mereka menyebut tentara tersebut sebagai simbol keberanian dan nasionalisme sejati.
Pihak militer Thailand segera memberikan klarifikasi. Mereka menyatakan bahwa pasukan hanya melakukan patroli rutin di Phu Phi, Provinsi Sisaket. Namun, beberapa pejabat Thailand menilai video itu sebagai bagian dari operasi informasi yang sengaja dirancang untuk menunjukkan keberanian militer Kamboja dan memprovokasi opini publik.
Hun Sen Gunakan Sejarah untuk Bangun Loyalitas Baru
Hun Sen tidak membiarkan momen ini berlalu begitu saja. Ia kembali membangkitkan narasi kudeta 1997 melalui media. Fresh News menyebut peristiwa itu sebagai “kemenangan bersejarah” atas pasukan FUNCINPEC dan kelompok Khmer Merah yang tidak sejalan.
Dalam peristiwa itu, Hun Sen menggerakkan Brigade ke-70 untuk merebut Phnom Penh dengan alasan menggagalkan rencana kudeta Pangeran Norodom Ranariddh. Setelah operasi militer tersebut berhasil, para prajurit Khmer Merah dari wilayah seperti Preah Vihear, Oddar Meanchey, dan Pailin memilih untuk bergabung dengan Hun Sen demi melindungi keluarga mereka.
Media Berperan dalam Memperkuat Narasi Politik
Hun Sen memanfaatkan media secara intensif. Ia menugaskan Fresh News untuk terus mengangkat sisi heroik tentara veteran. Penyebaran informasi yang terarah memperkuat dukungan publik dan menciptakan narasi tunggal tentang siapa yang benar dan siapa yang salah dalam konflik perbatasan.
Sementara itu, Thailand memilih pendekatan tenang. Komando Militer Wilayah Kedua menyatakan tidak berniat memprovokasi. Namun, mereka juga menyayangkan penyebaran informasi yang menurut mereka tidak mencerminkan kondisi sebenarnya di lapangan.
Ancaman Polarisasi Semakin Nyata
Keterlibatan mantan Khmer Merah dalam militer aktif menimbulkan pertanyaan serius. Pemerintah memang berhasil menarik mereka masuk ke struktur resmi, tetapi dampak sosial dan politiknya masih terasa hingga kini. Penggunaan mereka sebagai simbol nasionalisme bisa memperkuat loyalitas internal, tetapi juga berisiko menciptakan ketegangan di antara kelompok masyarakat yang masih menyimpan luka sejarah.
Hun Sen tampaknya tidak ragu menggunakan kembali strategi masa lalu. Ia menjadikan konflik sebagai alat konsolidasi kekuasaan dan memperkuat citra sebagai pelindung negara. Namun, langkah ini juga membuka risiko konflik meluas, terutama jika media terus memperkeruh situasi dengan narasi sepihak.
Penutup
Hun Sen kembali memainkan kartu lama yang dulu membawanya ke puncak kekuasaan. Ia memanfaatkan momentum konflik untuk membangkitkan nasionalisme dan memperkuat dukungan politik dalam negeri. Strategi ini berhasil menggerakkan opini publik, tetapi juga menempatkan Kamboja dalam situasi yang rawan polarisasi dan ketegangan regional.
Pemerintah Kamboja dan Thailand perlu menjaga komunikasi agar insiden serupa tidak berkembang menjadi konflik terbuka. Di tengah situasi yang mudah tersulut, kebijakan dan komunikasi yang bijak menjadi kunci menjaga stabilitas kawasan.