Polarisasi Politik di Indonesia: Mengapa Partai Politik Tidak Pernah Seperti Dulu Lagi?

Indonesia, sebagai negara demokrasi terbesar ketiga di dunia, mengalami dinamika politik yang sangat kompleks. Salah satu fenomena paling menonjol dalam beberapa tahun terakhir adalah meningkatnya polarisasi politik sbobet wap yang semakin tajam. Partai politik, yang dulu lebih banyak bergerak dalam bingkai kompromi dan kerja sama, kini seolah terjebak dalam kutub-kutub yang keras dan saling bertolak belakang. Pertanyaannya, mengapa partai politik di Indonesia tidak pernah seperti dulu lagi?

1. Perubahan Lanskap Politik dan Demokrasi Indonesia

Setelah era Reformasi 1998, Indonesia memasuki babak baru demokrasi dengan pemilihan umum yang lebih terbuka dan bebas. Namun, kematangan demokrasi ternyata tidak berjalan linear dengan peningkatan stabilitas politik. Demokrasi yang sehat harus dibarengi dengan budaya politik yang dewasa, toleran, dan mampu menampung perbedaan pendapat. Sayangnya, dalam beberapa tahun terakhir, demokrasi di Indonesia cenderung memunculkan fragmentasi sosial dan polarisasi yang lebih tajam.

Perubahan ini tidak terlepas dari bagaimana partai politik beroperasi di era modern. Partai politik kini tidak hanya berfungsi sebagai alat perekat ideologi dan kepentingan bersama, tapi juga sebagai alat untuk memenangkan kekuasaan dengan cara apapun. Akibatnya, pragmatisme dan personalisasi politik mulai mendominasi, meninggalkan idealisme yang dulu menjadi roh utama partai.

2. Media Sosial dan Pengaruhnya Terhadap Polarisasi

Salah satu faktor paling signifikan dalam meningkatnya polarisasi politik adalah kehadiran media sosial. Platform seperti Facebook, Twitter, Instagram, dan TikTok telah mengubah cara masyarakat mengonsumsi berita dan informasi politik. Media sosial memungkinkan penyebaran informasi secara cepat, tapi juga membuka peluang besar bagi penyebaran hoaks, ujaran kebencian, dan narasi yang memecah belah.

Partai politik pun memanfaatkan media sosial untuk memperkuat posisi mereka, namun sering kali dengan cara mengedepankan isu-isu sensitif yang memancing emosi dan perpecahan. Algoritma media sosial yang cenderung menampilkan konten yang provokatif membuat polarisasi semakin dalam karena masyarakat terjebak dalam “echo chamber” — ruang gema yang hanya menampilkan pendapat serupa.

3. Kepentingan Politik dan Fragmentasi Internal Partai

Dulu, partai politik di Indonesia sering kali dibangun di atas dasar ideologi dan visi yang jelas. Namun, dalam perkembangannya, partai cenderung menjadi kendaraan individu atau kelompok tertentu untuk meraih kekuasaan. Kepentingan politik yang pragmatis sering kali menimbulkan konflik internal yang kemudian melahirkan faksi-faksi berbeda dalam satu partai.

Fragmentasi internal ini membuat partai sulit menyatukan suara dan strategi, yang pada gilirannya menimbulkan ketegangan dan perpecahan lebih luas. Bahkan, dalam banyak kasus, rivalitas antar elite partai kerap menjadi pemicu konflik yang memperuncing polarisasi di masyarakat.

4. Peran Identitas dalam Politik Indonesia

Politik identitas menjadi faktor penting yang memperkeruh suasana politik di Indonesia. Indonesia yang multikultural memang rawan terhadap isu-isu SARA (Suku, Agama, Ras, dan Antar-golongan). Sayangnya, beberapa partai politik memanfaatkan identitas ini untuk memperkuat basis massa mereka, bukan untuk mempererat persatuan.

Ketika isu-isu identitas dijadikan alat politik, masyarakat semakin terkotak-kotak berdasarkan agama, etnis, atau golongan sosial. Partai politik yang seharusnya menjadi perekat bangsa malah memperdalam jurang perbedaan. Polarisasi yang berbasis identitas ini sangat sulit diselesaikan karena menyangkut aspek emosional dan historis yang melekat kuat.

5. Rendahnya Kepercayaan Publik terhadap Partai Politik

Riset dan survei selama dekade terakhir menunjukkan tren menurunnya kepercayaan publik terhadap partai politik di Indonesia. Banyak warga yang melihat partai sebagai institusi yang korup, penuh kepentingan pribadi, dan jauh dari aspirasi rakyat. Ketidakpercayaan ini berpotensi memperkuat polarisasi, karena masyarakat lebih mudah terprovokasi oleh narasi yang menyudutkan pihak lain.

Kepercayaan yang rendah ini juga memicu apatisme politik, dimana masyarakat tidak lagi peduli untuk aktif dalam proses politik. Akibatnya, ruang kosong tersebut diisi oleh kelompok-kelompok yang lebih radikal dan eksklusif, yang semakin memperburuk polarisasi.

6. Dampak Polarisasi terhadap Demokrasi Indonesia

Polarisasi politik yang kian tajam membawa konsekuensi serius bagi demokrasi Indonesia. Ketika perbedaan tidak lagi dilihat sebagai kekayaan yang harus dirayakan, tetapi sebagai ancaman yang harus dilawan, dialog dan kompromi menjadi sulit dilakukan. Proses legislasi dan pengambilan keputusan politik menjadi tersendat, dan pemerintah kerap menghadapi resistensi yang keras.

Selain itu, polarisasi juga berpotensi mengancam stabilitas sosial, bahkan keamanan nasional. Konflik yang muncul bisa bereskalasi menjadi bentrokan fisik antar pendukung partai atau kelompok tertentu. Hal ini tentu bertentangan dengan semangat demokrasi yang inklusif dan damai.

7. Apa yang Bisa Dilakukan untuk Mengurangi Polarisasi?

Meskipun polarisasi tampak sulit dihindari, masih ada langkah-langkah yang dapat ditempuh untuk meredamnya:

  • Penguatan Pendidikan Politik: Masyarakat perlu diberikan pendidikan politik yang menekankan pentingnya toleransi dan demokrasi yang sehat.
  • Regulasi Media Sosial: Pemerintah dan platform media sosial harus bekerja sama untuk mengurangi penyebaran konten hoaks dan ujaran kebencian.
  • Penguatan Partai Politik: Partai perlu kembali ke akar ideologi dan program yang jelas, serta meningkatkan internal demokrasi untuk mengurangi konflik internal.
  • Dialog Lintas Kelompok: Mendorong dialog antara kelompok yang berbeda agar saling memahami dan menghargai perbedaan.
  • Pemimpin yang Berintegritas: Mendorong pemimpin politik yang mampu menjadi teladan dan menjunjung tinggi etika politik.

Polarisasi politik di Indonesia adalah hasil dari berbagai faktor mulai dari perubahan lanskap demokrasi, pengaruh media sosial, kepentingan pragmatis partai, politik identitas, hingga menurunnya kepercayaan publik. Fenomena ini menunjukkan bahwa partai politik di Indonesia tidak lagi seperti dulu yang mampu mengayomi dan mempersatukan rakyat. Namun, dengan langkah-langkah yang tepat dan kesadaran bersama, polarisasi ini masih bisa dikurangi agar demokrasi Indonesia bisa tumbuh menjadi lebih sehat dan stabil.

By marqaan