marqaannews.net – Pelecehan seksual adalah kejahatan yang sangat serius dan memilukan bagi korban. Kasus terbaru yang terungkap di Mataram, Nusa Tenggara Barat (NTB), menunjukkan betapa kompleksnya masalah ini, terutama ketika pelakunya adalah seorang penyandang disabilitas. Pria difabel berinisial IWAS ini tidak hanya melakukan pelecehan seksual terhadap seorang mahasiswi, tetapi juga meminta korban untuk membayar sewa homestay sebesar Rp 50 ribu.
Polda NTB menggelar rekonstruksi kasus pelecehan seksual yang dilakukan oleh IWAS terhadap mahasiswi di Mataram. Dalam rekonstruksi tersebut, IWAS memperagakan 49 adegan yang terjadi di tiga lokasi berbeda: Taman Udayana Mataram, Nang’s Homestay, dan jalan sekitar Islamic Center NTB. Salah satu adegan yang diperankan adalah saat IWAS meminta korban untuk membayar sewa kamar homestay sebesar Rp 50 ribu.
Dalam rekonstruksi tersebut, terungkap dua versi peristiwa yang terjadi di dalam kamar homestay. Menurut versi IWAS, korbanlah yang membukakan pakaian dan pintu penginapan. Namun, versi korban menyatakan bahwa IWAS lah yang aktif dalam peristiwa tersebut. Direktur Reserse Kriminal Umum (Dirreskrimum) Polda NTB, Kombes Syarif Hidayat, mengungkapkan bahwa penyidik sangat berhati-hati dalam menangani kasus ini, mengingat kedua belah pihak adalah kelompok rentan: perempuan sebagai korban dan penyandang disabilitas sebagai tersangka.
Sebelum kejadian di homestay, IWAS mengajak korban berkeliling menggunakan sepeda motor di sekitar Jalan Udayana Mataram. Tujuannya adalah untuk membujuk korban agar bersedia membayar kamar penginapan. Setibanya di homestay, IWAS memerintahkan korban untuk segera membayar kamar tersebut. IWAS memperagakan dua versi saat membuka pintu kamar penginapan: versi korban menyatakan IWAS membuka pintu menggunakan dagunya, sedangkan versi IWAS menyatakan korban lah yang membuka pintu menggunakan tangannya sendiri.
Pemilik Nang’s Homestay, Shinta, memberikan kesaksian bahwa IWAS sering datang ke penginapannya bersama sejumlah perempuan yang berbeda. IWAS bahkan bisa datang berkali-kali dalam sehari. Shinta mengungkapkan bahwa IWAS sering memesan kamar nomor 6 yang terletak di pojok penginapan. Meskipun demikian, perempuan yang dibawa IWAS tidak pernah menunjukkan gelagat aneh seperti menangis atau lari keluar kamar.
Syarif Hidayat menegaskan bahwa penyidik sangat berhati-hati dalam menangani kasus ini, mengingat kedua belah pihak adalah kelompok rentan. Polisi dihadapkan dengan dua kelompok rentan sebagai korban dan kelompok rentan disabilitas sebagai tersangka. Rekonstruksi dilakukan di tiga lokasi berdasarkan keterangan korban dan pelaku, dan kegiatan ini merupakan rekonstruksi terkait peristiwa yang terjadi pada 7 Oktober 2024.
Kasus pelecehan seksual yang dilakukan oleh IWAS menunjukkan betapa kompleksnya masalah ini, terutama ketika pelakunya adalah seorang penyandang disabilitas. Penanganan kasus ini memerlukan kehati-hatian ekstra dari pihak berwajib untuk memastikan keadilan bagi korban dan tersangka. Dengan adanya rekonstruksi dan kesaksian dari berbagai pihak, diharapkan kebenaran dapat terungkap dan keadilan dapat ditegakkan.